STOP Kriminalisasi Pengadaan
Oleh: Hery Suroso
Jangan ada lagi kriminalisasi dalam penegakan hukum. Presiden mengingatkan kembali lima instruksinya, Pertama, kebijakan diskresi tidak bisa dipidanakan. Kedua, tindakan administrasi pemerintahan juga tidak bisa dipidanakan. Ketiga, potensi kerugian negara yang dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masih diberi peluang selama 60 hari untuk dibuktikan kebenarannya. Keempat, potensi kerugian negara juga harus konkret, tidak mengada ada. Kelima, kasus yang berjalan di kepolisian dan kejaksaan tidak boleh diekspos ke media secara berlebihan sebelum masuk ke tahap penuntutan. Lebih jauh lagi, Presiden menginstruksikan agar Pemda tidak boleh ragu dalam mengambil terobosan untuk pembangunan daerahnya dan jika setelah perintah ini masih terdapat kriminalisasi kebijakan maka Kapolda-Kapolres dan Kejati-Kejari akan dicopot.
Perintah Presiden ini tampaknya akan menemui banyak hambatan di lapangan dikarenakan belum adanya keselarasan cara pandang antar pelaku Pengadaan Barang Jasa (PBJ), auditor, ahli, dan Aparat Penegak Hukum (APH). Hal ini ditambah lagi dengan ketidakjelasan sikap atas batasan pelanggaran andministrasi dan/atau tindak pidana korupsi, batasan keuangan negara atau bukan, Batasan kerugian negara, batasan pihak yang harus bertanggungjawab dan batasan keuntungan penyedia yang wajar. Terobosan pada UU Jasa Konstruksi No 2 tahun 2017 pada pasal 86, bahwa proses pemeriksaan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaaan dari lembaga negara yang berwenang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, dapat lebih memperjelas kepada dunia konstruksi, bahwa penyidikan harus ada dulu unsur KN yang ditetapkan BPK, walaupun
aduan masyarakat bisa saja ke APH terlebih dahulu, baru penyelidikan, audit, dilanjut penyidikan.
Dalam tataran teknis, misalnya pada kasus konstruksi, perbedaan pandangan mengenai analisa harga satuan antara PBJ dan auditor berpotensi memunculkan konflik penghitungan Kerugian Negara (KN). Menurut PBJ, analisa harga satuan sekedar alat bantu penghitungan penawaran. Berbeda dengan auditor, sajian data pada analisa harga satuan berupa upah, bahan dan alat bantu dinilai telah cukup dijadikan bahan audit. Auditor akan mengaudit sesuai data yang disajikan, sedangkan PBJ akan berpatokan pada output kualitas dan kuantitas. Sehingga apabila output sudah sesuai penawaran menurut pelaku PBJ sudah tidak ada masalah.
Keterlibatan ahli yang kurang kompeten pada penyelidikan kasus tipikor audit jasa konstruksi menghasilkan laporan justifikasi yang bias. Akibat kurangnya pengalaman di lapangan, seorang ahli hanya menjustifikasi nilai KN dengan asumsi data mentah yang didapatkannya dari bangku kuliah. Sementara itu auditor dan APH lebih condong menerima keterangan dari para ahli dibandingkan keterangan pengguna atau pengawas lapangan. Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pasal 87 ayat (2) menjelaskan pekerjaan tambah tidak boleh lebih dari 10% dari nilai kontrak awal. Dalam hal ini seorang enggineer tidak bisa menebak nilai pekerjaan secara tepat. Batasan 10% dimaksud untuk mengalokasikan perkiraan Rencana Anggaran Biaya (RAB)
bila meleset di lapangan. Hanya saja nilai 10% ini menjadi besar bila nilai proyek juga besar, sehingga bila justifikasi seorang ahli menyatakan nilai proyek kurang dari kontrak maka disimpulkan terjadi KN, walaupun bila dilihat dari persentase nilai proyek selisih itu masih kecil.
Audit pekerjaan konstruksi dimungkinkan menggunakan alat laboratorium yang dimiliki oleh lembaga pendidikan tinggi. Peralatan dengan merk dan tipe sama tapi pemakai yang berbeda sangat mungkin menghasilkan data yang berbeda. Sehingga justifikasi pembenaran terhadap data yang dihasilkan alat ini akan menjadi sangat obyektif tergantung siapa yang memakai data tersebut. Persoalan data akan sangat bias bila dihubungkan dengan nilai KN atas sebuah pekerjaan konstruksi.
Dalam dunia perhubungan, segala macam insiden kecelakaan diselesaikan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), maka tidak menutup kemungkinan di dalam dunia konstruksi dibentuk Komite Penyelidik Bangunan (KPB) dimana tugas utama para penyelidik yang terdapat didalamnya adalah menjustifikasi spesifikasi teknis dan nilai bangunan pasca konstruksi. Anggota komite ini nantinya terdiri dari para ahli bangunan dari berbagai kalangan dan pemerhati bangunan terutama yang sering berhubungan dengan audit konstruksi, pemeriksaan forensik bangunan dan laboratorium konstruksi. Berbeda dengan UU Jasa Konstruksi No 2 tahun 2017 pasal 88 ayat 5, tentang Pembentukan Dewan sengketa, fungsi KPB ini lebih mengarah ke sebuah lembaga yang menilai bangunan terdapat unsur Kerugian Negara apa tidak. KPB ini berbeda pula Peniulai Ahli dalam UU Jasa Konstruksi pasal 60 ayat 2, sebab penilai ahli dibentuk bila terdapat kegagalan bangunan, dan harus ditetapkan oleh
Menteri.
Penghitungan KN dalam kontrak jenis Lump Sum sampai saat ini belum jelas definisi serta batasannya. Perpres No 54 Tahun 2010 pasal 51 menjelaskan bahwa kontrak Lump Sum pembayarannya didasarkan atas seluruh pekerjaan. Penentuan kisaran prestasi hasil pekerjaan bagi para pelaku PBJ menjadi masalah tersendiri, terlebih lagi jika terjadi putus kontrak. Kontrak Lump Sum idealnya berdasarkan output tapi bila dilaksanakan audit “kacamata kuda” dimana data yang disampaikan itu adalah nilai yang berbicara, maka rincian data bisa menjadi langkah awal adanya kerugian negara.
Dalam kaitannya keuntungan bagi penyedia, tidak ada satu pun kalimat dalam Perpres No 54 Tahun 2010 yang menyatakan keuntungan penyedia dibatasi pada nilai 15%. Munculnya angka sakral ini hasil pemahaman yang salah dalam menyikapi pasal 66 tentang penetapan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Pada pasal ini, HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar. Selanjutnya dijelaskan bahwa ukuran wajar yang dimaksud dalam pekerjaan konstruksi adalah 15%. Pada lelang akhir, penyedia boleh mengambil keuntungan berapapun asalkan nilai penawaran dibawah HPS. Penyusunan HPS yang salah bukan tergolong korupsi karena nilai sebenarnya dari pekerjaan bukanlah HPS namun nilai penawaran/kontrak.
Pada pasal 11 dijelaskan salah satu tugas dan kewenangan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) adalah mengendalikan pelaksanaan kontrak. Sebagai “dewa sapu jagad”, PPK bertanggungjawab pada seluruh permasalahan dalam pelaksanaan kontrak, baik teknis, administrasi, keuangan, hukum, lingkungan kerja dan masyarakat. Tanpa bekal pengalaman, PPK yang bermodalkan sertifikat Pengadaan Barang Jasa (PBJ) saja akan sangat riskan terjerat kasus korupsi bidang pengadaan. Walaupun pada realitanya tidak ikut menikmati hasil tetapi PPK dapat terjerat pasal “ikut andil memperkaya orang lain”.
Pengadaan adalah seni memperoleh barang/jasa dimana pemeran utamanya adalah Kelompok Kerja (Pokja) dan PPK. Biarkanlah seni ini berjalan sesuai irama gending pengiringnya. Keputusan administrasi Pokja bisa salah, begitu juga tindakan PPK dalam pelaksanaan kontrak. Pokja dan PPK hanyalah manusia biasa bukan dewa. Perlindungan menyeluruh terhadap ranah pengadaan diperlukan untuk memacu pembangunan. Jangan ada lagi Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang cukup besar hanya dikarenakan pelaku pengadaan terlalu ketakutan dalam menjalankan proses pengadaan. Instruksi Jokowi akan berjalan efektif bila Pokja, PPK, penyedia, auditor, APH dan LSM mempunyai irama yang sama. Ingat bahwa tujuan kita bersama adalah terciptanya sinergitas pembangunan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Hery Suroso
Wakil Rektor II Universitas Tidar Magelang
Instruktur pengadaan Barang Jasa LKPP Jakarta
Pendiri Pusat Pengkajian Pengadaan Barang/Jasa Indonesia (P3I) Jakarta
Dosen Teknik Sipil Unnes Semarang