Oleh : Samsul, S.SOS., M.A.P
Atas terbitnya Surat Edaran (SE) Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 5 Tahun 2024 (5/2024) Tentang Pencegahan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pada Tahap Perencanaan Dan Persiapan Pengadaan yang Disusul kemudian dengan terbitnya SE LKPP Nomor 8 Tahun 2024 (8/2024) tentang Tentang Pencegahan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pada Tahap Pemilihan Penyedia Dan Pelaksanaan Kontrak, berikut ini adalah analisa penulis atas 9 bagian dari 12 bagian isi SE 5/2024.
Pembahasan Klausula angka 5. 1)
“1) Pengadaan harus berdasarkan kebutuhan yang didukung dengan analisis kebutuhan. Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) dilarang melakukan pengadaan yang tidak dibutuhkan dan/atau tidak mendukung rencana strategis K/L/PD. Misalnya Pengadaan titipan (tidak dibutuhkan) dari semua pihak.”
Sumber rujukan dari bagian ini sama sekali atau setidaknya sangat lemah kaitannya dengan Perpres 16/2018 dan seluruh perubahan (Perpres) demikian juga dengan Peraturan Lembaga turunan seperti Perlem 11/2021 dan Perlem 12/2021. Hal ini disimpulkan dari identifikasi sebagai berikut:
Kalimat “Analisis Kebutuhan” baru muncul pada Perlem 12/2021 tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia dan itupun hanya 1 kali pada Lampiran I Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Lainnya/Jasa Konsultansi Nonkonstruksi Melalui Penyedia Bab I. Pendahuluan Alenia Ke-2. Disebutkan bahwa, “Sebelum pelaksanaan pengadaan, dilakukan Analisis dan Evaluasi Kebutuhan, serta Perencanaan Pengadaan“. Ini menegaskan bahwa “Analisis Kebutuhan” bukanlah klausa yang dikenal dalam Perencanaan Pengadaan. Penting pada bagian Persiapan Pengadaan, itu pun hanya di sebutkan pada Pengadaan Non Konstruksi.
Kesimpulan
Dari ketiga poin di atas maka sudah dapat disimpulkan bahwa pernyataan SE 5/2024 angka 5. poin 1) bertentangan dengan tujuan SE pada angka 2. yaitu untuk memberikan penjelasan terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pernyataan SE 5/2024 angka 5., 1) justru membuat istilah-istilah baru yang mengaburkan konstruksi pemahaman tentang Perencanaan Pengadaan pada Perpres BAB IV Bagian Kesatu Pasal 18 ayat 1 s/d 8 yang sudah sangat sistematis dan mudah dipahami.
Daftar Referensi
Pembahasan Klausula angka 5. 2)
“ 2) Pada saat melakukan analisis pasar didampingi oleh orang yang mengerti situasi pasar, khusus untuk konstruksi di damping oleh tim ahli.”
Aspek Tata Bahasa
Untuk sebuah SE yang bertujuan memberikan penjelasan terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Narasi pada klausa ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa ini adalah sebuah “penjelasan” lebih tepatnya adalah sebagai sebuah “pernyataan”. Hal ini dapat dianalisa menggunakan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sebagaimana tabel berikut:
Aspek | Penjelasan | Pernyataan |
Tujuan | Memberikan klarifikasi atau uraian tambahan. | Menyampaikan informasi, pendapat, atau fakta secara langsung. |
Sifat | Bersifat mendalam, memperinci, dan memperjelas. | Bersifat langsung, tegas, dan eksplisit. |
Konteks Penggunaan | Digunakan untuk memperjelas pernyataan atau konsep utama. | Digunakan sebagai inti informasi dalam komunikasi. |
Sehingga dapat pahami kemudian isi dari SE ini memerlukan berbagai macam forum untuk menjelaskan maksud (catatan penulis: Dalam SE 5/2024 hanya ada bagian “Tujuan” tanpa bagian “Maksud”) dari pasal per pasal konten SE. Jika untuk SE Kepala LKPP lain, apabila dibentuk forum diskusi, berisi tentang teknis implementasi SE. Maka forum diskusi SE 5/2024 berisi acara untuk menjelaskan lagi maksud dari isi SE yang ditrigger oleh kontroversi dan kegaduhan yang tidak perlu.
Aspek Konten dan Konteks
Meski berupa “pernyataan” narasi 5.2) tetap juga menimbulkan kebingungan baru. Terdapat kalimat “analisis pasar didampingi oleh orang yang mengerti situasi pasar, khusus untuk konstruksi di damping oleh tim ahli”.
Dari pernyataan ini memunculkan kesimpulan bahwa penggunaan “tim ahli” khusus hanya untuk “konstruksi”. Untuk lainnya cukup menggunakan “orang yang mengerti situasi pasar”. Berarti kemampuan mengerti situasi pasar adalah berbeda dengan “tim ahli”.
Sementara Perlem 12/2021 pada Lampiran I Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Lainnya/Jasa Konsultansi Nonkonstruksi Melalui Penyedia Bab I. Pendahuluan huruf b. disebutkan bahwa, “dalam melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia, PA/KPA/PPK/Pejabat Pengadaan/Pokja Pemilihan dapat dibantu oleh Tim ahli atau tenaga ahli dapat berbentuk tim atau perorangan dalam rangka memberi masukan dan penjelasan/pendampingan/pengawasan terhadap sebagian atau seluruh pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa”.
Artinya pembentukan “Tim Ahli” tidak khusus untuk konstruksi saja. Kembali klausula SE 5/2024 5.2) justru membuat yang sudah jelas menjadi bias bahkan tidak jelas.
Apalagi jika kita telusuri kata “konstruksi” pada narasi “khusus untuk konstruksi di damping oleh tim ahli ” tidak jelas merujuk ke definisi yang “konstruksi” yang mana? Dari 68 kata “konstruksi” yang terdapat dalam Perpres sebagian besar kata konstruksi melekat pada kalimat “pekerjaan konstruksi” dan “konsultan konstruksi/non konstruksi”. Hanya ada 2 kalimat berbeda pada pasal 59 ayat (6) dan (7) yang menyebut “konstruksi permanen” dan pasal 85 (1) huruf c tentang “Dewan Sengketa Konstruksi”.
Kesimpulan
Dari analisis Aspek Tata Bahasa dan Aspek Konten dan Konteks maka sudah dapat disimpulkan bahwa pernyataan SE 5/2024 angka 5. poin 2) bertentangan dengan tujuan SE pada angka 2. yaitu untuk memberikan penjelasan terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pernyataan SE 5/2024 angka 5., 1) justru membuat istilah baru dan konteks baru yang mengaburkan konstruksi pemahaman tentang pembentukan “Tim Ahli” pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana yang telah jelas tertuang dalam Perlem 12/2021 pada Lampiran I Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Lainnya/Jasa Konsultansi Nonkonstruksi Melalui Penyedia Bab I. Pendahuluan huruf b.
Daftar Referensi
Pembahasan Klausula angka 5. 3)
3) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan (PP), dan Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan) melakukan kaji ulang atas Rencana Umum Pengadaan yang ditetapkan oleh Penggunan Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Apabila ditemukan rencana pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan, maka pengadaan tidak perlu diadakan.
Analisis Aspek Kewenangan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Bagian Ketujuh Pasal 17 menyebutkan bahwa:
Kewenangan tertinggi pada organisasi ada pada Kepala Instansi dalam hal ini Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Perangkat Daerah. Sebagaimana amanat Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Internal Pemerintah (SPIP) pasal 4 huruf d dan e maka Pimpinan Instansi bertanggungjawab dalam kerangka SPIP melakukan pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan dan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat.
Dari sisi fungsi pengelolaan keuangan dan pengadaan barang/jasa Pimpinan Instansi K/L/Perangkat Daerah memegang kewenangan attributif sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 4 dan 6 yang menyebutkan Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah Pengguna Anggaran.
Untuk itu kalimat perintah “Apabila ditemukan rencana pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan, maka pengadaan tidak perlu diadakan.” perlu dimintakan pertanggungjawaban penjelasannya dilakukan oleh siapa! Apakah Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan (PP), dan Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan) memiliki hak untuk menyatakan atau menetapkan sebuah pengadaan tidak perlu diadakan? Sementara yang memiliki kewenangan attributif Penggunaan Anggaran adalah Pimpinan Instansi K/L/Perangkat Daerah.
Dalam Perpres 16/2018 dan seluruh perubahan (Perpres) Pasal 11, 12 dan 13 tidak satu penjelasan pun yang menyebutkan PPK, PP dan Pokja dapat membatalkan Pengadaan Barang/Jasa, apalagi pada tahapan kaji ulang atas Rencana Umum Pengadaan. Jika SE ini diikuti secara serampangan maka PPK, PP dan Pokja potensial melakukan pelanggaran terhadap norma larangan UU 30/2014 pasal 17 ayat 2 yaitu Larangan Penyalahgunaan Kewenangan.
Jikapun ternyata pernyataan 5.3) ini mengandung penjelasan tata laksana lanjutan, maka ini pengakuan yang jelas dan tegas bahwa SE LKPP 5/2024 telah melanggar tujuannya sendiri. Artinya tanpa penjelasan lanjutan tentang tata laksana “penolakan pengadaan atau pembatalan pengadaan” oleh PPK, PP dan Pokja maka justru potensi pelanggaran hukum, setidaknya Hukum Administrasi Pemerintahan, besar kemungkinan terjadi. Artinya SE LKPP 5/2024 ini, alih-alih mencegah Tindak Pidana Korupsi Pengadaan Barang/Jasa malah justru memperbesar potensi terjadinya perbuatan melawan hukum yang bisa berujung tindak pidana korupsi.
Kesimpulan
Dari analisis Aspek Kewenangan maka sudah dapat disimpulkan bahwa pernyataan SE 5/2024 angka 5. poin 3) bertentangan dengan tujuan SE pada angka 2. yaitu untuk memberikan penjelasan terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pernyataan SE LKPP 5/2024 angka 5.,3) justru membuka peluang terjadinya penyalahgunaan kewenangan baik dari sisi melampaui Wewenang, mencampuradukkan Wewenang; dan/atau bertindak sewenang-wenang dari PPK, PP dan Pokja Pemilihan. SE LKPP 5/2024 angka 5.3) tidak hanya mengaburkan konstruksi pemahaman lingkup dan kewenangan PPK, PP dan Pokja yang tertuang jelas pada Perpres pasal 11,12 dan 13 juga berpotensi besar bertabrakan dengan norma hukum UU 30/2014 pasal 17.
Daftar Referensi
Pembahasan Klausula angka 5. 4), 5.5), 5.6), 5.7) dan 5.8)
4) Dalam hal hanya terdapat penyedia tunggal yang mampu menyediakan kebutuhan, metode pemilihan yang digunakan yaitu penunjukan langsung. Contoh: pemasangan iklan di billboard tertentu dilakukan dengan Penunjukan Langsung kepada penyedia yang mendapatkan izin pengelolaan billboard.
5) Penggabungan dan/atau pemecahan paket memperhatikan hasil analisis efektifitas dan efisiensi dalam proses pemaketan.
6) Dilarang memecah satu paket pekerjaan menjadi beberapa paket pekerjaan untuk menghindari tender. Contoh: pengadaan kalender dipecah menjadi beberapa paket kepada penyedia yang dikendalikan oleh orang yang sama.
7) Dilarang menyatukan beberapa paket pekerjaan yang mengahalangi kompetisi dan/atau kesempatan usaha kecil.
8) PA/KPA dan PPK melakukan konsolidasi pengadaan barang/jasa pada tahap perencanaan dan persiapan pengadaan.
Kelima klausula ini relatif tidak memiliki potensi hukum yang mengkhawatirkan karena kalimat bersifat normatif dan tidak memberikan tambahan penjelasan atas apa yang sudah ada. Seperti disebutkan pada analisa 5.2), kesemuanya hanya masalah pada Aspek Tata Bahasa. Untuk sebuah SE yang bertujuan memberikan penjelasan terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Narasi pada klausa ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa ini adalah sebuah “penjelasan” lebih tepatnya adalah sebagai sebuah “pernyataan”.
Untuk itu analisa yang digunakan cukup analisa perbandingan dengan kalimat Perpres 16/2018 dan perubahannya (Perpres). Pada bagian ini terpaksa meraba-raba padanan pasal yang kira-kira dimaksud penyusun SE :
SE LKPP 5/2024 | Perpres 16/2018 |
4) Dalam hal hanya terdapat penyedia tunggal yang mampu menyediakan kebutuhan, metode pemilihan yang digunakan yaitu penunjukan langsung. Contoh: pemasangan iklan di billboard tertentu dilakukan dengan Penunjukan Langsung kepada penyedia yang mendapatkan izin pengelolaan billboard. | Pasal 38 ayat (5) huruf d. Kriteria Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya untuk keadaan tertentu yang dapat dilaksanakan penunjukan langsung salah satunya adalah Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang hanya dapat disediakan oleh 1 (satu) Pelaku Usaha yang mampu; |
5) Penggabungan dan/atau pemecahan paket memperhatikan hasil analisis efektifitas dan efisiensi dalam proses pemaketan. | Pasal 20 ayat (2) dalam melakukan pemaketan Pengadaan Barang/Jasa, dilarang: a. menyatukan atau memusatkan beberapa paket Pengadaan Barang/Jasa yang tersebar di beberapa lokasi/daerah yang menurut sifat pekerjaan dan tingkat efisiensinya seharusnya dilakukan di beberapa lokasi/daerah masing-masing; b. menyatukan beberapa paket Pengadaan Barang/Jasa yang menurut sifat dan jenis pekerjaannya harus dipisahkan; c. menyatukan beberapa paket Pengadaan Barang/Jasa yang besaran nilainya seharusnya dilakukan oleh usaha kecil; dan/atau d. memecah Pengadaan Barang/Jasa menjadi beberapa paket dengan maksud menghindari Tender/Seleksi. |
6) Dilarang memecah satu paket pekerjaan menjadi beberapa paket pekerjaan untuk menghindari tender. Contoh: pengadaan kalender dipecah menjadi beberapa paket kepada penyedia yang dikendalikan oleh orang yang sama. | |
7) Dilarang menyatukan beberapa paket pekerjaan yang mengahalangi kompetisi dan/atau kesempatan usaha kecil. | |
8) PA/KPA dan PPK melakukan konsolidasi pengadaan barang/jasa pada tahap perencanaan dan persiapan pengadaan.
| Pasal 21 (1) Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa dilakukan pada tahap perencanaan pengadaan, persiapan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia, dan/atau persiapan pemilihan Penyedia. (2) Konsolidasi Pengadaan Barang/Jasa dilaksanakan oleh PA/KPA/PPK dan/atau UKPBJ. |
Jika benar padanan pasal yang penulis ambil sesuai dengan isi SE maka bisa dibandingkan mana sesungguhnya yang lebih jelas dalam membangun pemahaman pembacanya. Kemudian jika diperhatikan SE LKPP 5/2024 jauh lebih singkat dan sederhana dibandingkan pasal yang ingin di jelaskannya. Maka apakah benar sesungguhnya SE LKPP 5/2024 bertujuan menjelaskan Perpres?
Kalau, misalkan, keberadaan contoh-contoh adalah bagian penjelas. Itupun sangat naif. Karena contoh yang digunakan justru memunculkan pertanyaan. Misal kalimat, “ Contoh: pengadaan kalender dipecah menjadi beberapa paket kepada penyedia yang dikendalikan oleh orang yang sama.”
Frasa “dipecah menjadi beberapa paket kepada penyedia” seperti kalimat yang tidak lengkap sehingga sulit ditangkap maksud dan artinya tanpa permakluman. Ditambah lagi adanya 2 pemahaman larangan pemecahan paket. Yang dilarang sesungguhnya apakah tujuan menghindari tender (sesuai Perpres pasal 38 ayat (5) huruf d) atau tujuan kepada penyedia yang dikendalikan oleh orang yang sama (istilah baru)?
Kesimpulan
Dari analisis Perbandingan maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan SE 5/2024 angka 5. poin 4),5),6),7) dan 8) tidak menjelaskan Perpres 16/2018 dan perubahannya. Justru merupakan versi singkat dengan contoh yang tidak memberikan kontribusi terhadap tujuan SE pada angka 2. yaitu untuk memberikan penjelasan terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Daftar Referensi
Pembahasan Klausula angka 5. 12)
12) Dilarang memberikan informasi lebih awal yang membuat salah satu penyedia yang membuat persiapan lebih baik dari pada penyedia lain, kecuali yang sudah diatur di RUP.
5.12 adalah salah satu dari 4 isi SE LKPP 5/2024 yang mengandung kata “Dilarang”. Untuk itu bobot bagian ini sangat urgent untuk dianalisa.
Sumber rujukan dari bagian ini sama sekali atau setidaknya sangat lemah kaitannya dengan Perpres 16/2018 dan seluruh perubahan (Perpres) demikian juga dengan Peraturan Lembaga turunan seperti Perlem 11/2021 dan Perlem 12/2021. Hal ini disimpulkan dari identifikasi sebagai berikut:
Masalah Aspek Tata Bahasa juga terjadi pada bagian 5.12) ini. Untuk sebuah SE yang bertujuan memberikan penjelasan terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Narasi pada klausa ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa ini adalah sebuah “penjelasan” lebih tepatnya adalah sebagai sebuah “pernyataan”.
Perpres pasal 1 angka 27. menyebutkan Pelaku Usaha adalah badan usaha atau perseorang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu; dan
Perpres pasal 1 angka 28. menyebutkan Penyedia Barang/Jasa Pemerintah yang selanjutnya disebut Penyedia adalah Pelaku Usaha yang menyediakan barang/jasa berdasarkan kontrak.
Ketika Perpres dengan sedemikian seriusnya membedakan definisi antara Pelaku Usaha dan Penyedia, bahkan saking seriusnya, dari susunan angka diurutkan sesuai prosesnya. Bahwa proses awal sekali sebelum menjadi penyedia hanya boleh disebut pelaku usaha. Setelah berkontrak barulah pelaku usaha disebut penyedia. Sudah seharusnya SE yang digadang-gadang sebagai penjelas juga serius membedakan antara pelaku usaha dan penyedia.
Karena 5.12 menggunakan status “penyedia” dalam narasinya maka mari kita sandingkan dengan proses yang diatur oleh perpres. Pelaku usaha disebut Penyedia ketika berkontrak. Jika telah menyandang status sebagai penyedia maka menjadi tidak relevan membuat larangan memberikan informasi lebih awal kepada penyedia.
Akan berbeda pemahamannya jika kalimat 5.12 diubah menjadi, “Dilarang memberikan informasi lebih awal yang membuat salah satu Pelaku Usaha yang membuat persiapan lebih baik dari pada pelaku usaha lain”. Sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami bahwa ini adalah larangan persekongkolan atau persaingan tidak sehat.
Untuk kesekian kalinya SE LKPP 5/2024 memaksa pembacanya untuk memahami yang tersirat bukan yang tersurat, padahal selayaknya penjelasan, SE harusnya semua bersifat tersurat. Karena tidak ada penjelasan terkait akronim RUP dalam SE, maka pembaca dipaksa mengartikan bahwa akronim tersebut merujuk pada Rencana Umum Pengadaan sebagaimana tertuang dalam Perpres Pasal 1 angka 19.
Kalimat, “kecuali yang sudah diatur di RUP”. menimbulkan penafsiran liar yang susah dipahami. Salah satunya jika dikaitkan dengan larangan, kalimat ini seolah menegaskan bahwa larangan tersebut dapat dianulir selama telah diatur dalam RUP. Jika benar larangannya terkait larangan persekongkolan atau persaingan tidak sehat, maka selama hal tersebut tertuang dalam Rencana Umum Pengadaan silakan saja.
Kesimpulan
Dari analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa pernyataan SE 5/2024 angka 5. poin 12) bertentangan dengan tujuan SE pada angka 2. yaitu untuk memberikan penjelasan terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pernyataan SE LKPP 5/2024 angka 5.,12) memuat norma “Dilarang” yang tidak jelas dan tegas dari sisi kriteria dan lingkup tindakan yang dilarang. Bahkan memunculkan pengecualian yang dapat diartikan liar dan berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap larangan itu sendiri. Sehingga potensi terjadinya pelanggaran prinsip dan etika pengadaan barang/jasa pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Perpres pasal 6 dan 7, menjadi sangat besar.
Daftar Referensi
Penutup
Demikian analisa dan pendapat saya terkait konten SE LKPP 5/2024 sebagai salah satu praktisi dan pemegang sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa pemerintah yang secara langsung berkepentingan terhadap jaminan kualitas produk kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah. Artikel ini hadir murni karena kepedulian bukan sentimen pribadi.
Dalam hal diperlukan diskusi lebih lanjut, kritisi atau koreksi jika terdapat kekeliruan silakan menghubungi saya via chat WA 08135109308. Terimakasih. Wallahualam bissawab.
Disclaimer
Analisis ini didasarkan pada asumsi bahwa SE LKPP 5/2024 bersumber dari Perpres 16/2018 dan perubahannya, Perlem 11/2021 dan Perlem 12/2021. Mengingat tidak disebutkannya rujukan peraturan pada masing-masing pasal dalam SE 5/2024 maka bisa saja dasar rujukan yang berbeda. Jika sumber rujukan pasal atau ayat atau bagian tidak bersumber pada Perpres 16/2018 dan perubahannya, Perlem 11/2021 dan Perlem 12/2021, maka analisis ini dapat diabaikan.