Kontroversi Surat Edaran Pengadaan Barang/Jasa, Apa Gunanya?
Ditulis Oleh: Samsul,S.Sos.,M.A.P.,CMC.,CSCM.,CPSp.
Sebenarnya tidak terlalu bernafsu membahas soal ini, namun karena keresahan teman-teman pelaku pengadaan barang/jasa pemerintah diberbagai group, memantik keinginan untuk menelaah.
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP-RI) di medio oktober-desember telah menerbitkan 2 (dua) Surat Edaran (SE) Kepala LKPP-RI bertajuk Pencegahan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada dua kategori tahapan yaitu:
- SE Nomor 5 Tahun 2024 pada Tahap Perencanaan Dan Persiapan Pengadaan; dan
- SE Nomor 8 Tahun 2024 pada Pemilihan Penyedia Dan Pelaksanaan Kontrak.
Achmad Subkhan, SHI., MSI., Widyaiswara Ahli Madya, BDK Semarang pada artikel berjudul Kedudukan Surat Edaran Dalam Peraturan Perundang-Undangan menyebutkan bahwa, “Surat edaran lebih bersifat technical guidance (petunjuk teknis) bagi unit yang ada di bawahnya. Isinya tidak mengubah, tidak menambah-nambahi, tidak menganulir peraturan yang diantarkannya, sehingga peraturan yang diantarkan tetap utuh dan tidak bermakna ambigu (ganda) akibat dari surat edaran dimaksud“.
Ketika terjadi keributan diakibatkan keluarnya SE maka besar kemungkinan konten dari SE tersebut telah mengingkari tujuan utamanya yaitu memperjelas konten dari peraturan yang diantarkan atau dalam kata lain memunculkan makna ambigu (ganda). Apakah SE LKPP 5/2024 dan 8/2024 gagal mencapai tujuannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut mari kita telaah lebih lanjut. sr
Miskin Rujukan Pasal dalam Dasar Hukum
Pada bagian Latar Belakang jika diperbandingkan dengan beberapa SE Kepala LKPP yang lain, SE LKPP 5/2024 dan 8/2024 memang terkesan berbeda. SE LKPP 6/2024 tentang Pembuatan Surat Keputusan, Penayangan, dan Penurunan Tayang Sanksi Daftar Hitam pada Daftar Hitam Nasional Versi 3 misalnya, pada bagian latar belakang bersandar pada pasal 83 ayat (2) Perpres 16/2018 sebagaimana diubah dengan Perpres 12/2021. Demikian juga pada SE LKPP yang lain, selalu menyandarkan latar belakang pada regulasi yang lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan tujuan SE adalah memperkuat atau memperjelas regulasi yang sudah ada.
SE LKPP 5/2024 dan 8/2024 hanya berdasarkan narasi, “Berdasarkan data yang dirilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)” dan “Mengingat tingginya tindak pidana korupsi yang terjadi dalam dalam proses Pengadaaan Barang/Jasa Pemerintah”. Tidak sedikitpun kutipan regulasi yang menjadi latar belakang. Narasi yang digunakan pun sama sekali tidak berisi referensi sumber, data dan/atau angka yang jelas dan tegas. Padahal pada bagian Tujuan disebutkan dengan jelas bahwa Tujuan SE adalah “memberikan penjelasan” terkait Pencegahan Korupsi dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah bagi pelaku pengadaan pada Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah.
Uniknya lagi pada SE LKPP 5/2024 pada bagian Dasar Hukum terdapat dua dasar hukum yang derajat keterkaitannya, dengan konten pada tahapan perencanaan dan persiapan, dipertanyakan oleh beberapa penggiat pengadaan, yaitu:
- Keputusan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 122 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Katalog Elektronik; dan
- Keputusan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 177 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Katalog Elektronik.
Agak sulit memaklumi bahwa penyelenggaraan Katalog Elektronik adalah bagian dari perencanaan dan persiapan pengadaan barang/jasa dan menjadi tugas PA/KPA/PPK. Satu-satunya permakluman yang dapat disampaikan mungkin hanyalah kesilapan semata. s
Sebagai perbandingan lihat SE LKPP 7/2024 :
Dari perbandingan ini terlihat sekali bahwa konseptor atau kurator kedua SE adalah unit yang berbeda. Berdasarkan keterangan rekaman acara, “Seminar Nasional RUU Pengadaan Barang & Jasa Publik: Ekosistem PBJ Berintegritas Mendukung Asta Cita“, Setya Budi Arijanta, Deputi Bidang Hukum Dan Penyelesaian Sanggah, mengakui bahwa SE LKPP 5/2024 dan SE LKPP 8/2024 adalah produksi kedeputiannya. s
Setelah diperbandingkan dengan seluruh SE Kepala LKPP yang terbit di tahun 2024 hanya SE LKPP 5/2024 dan SE 8/2024 yang terlihat sangat enggan menjelaskan atau menyebutkan rujukan pasal atau regulasi.
Berbicara soal kesalahan pengetikan (typo) yang sangat mengganggu, terkonfirmasi juga pada SE LKPP 5/2024. Diantaranya angka 5.2) terdapat kata “dampingi” yang kurang “i” menjadi “damping“. angka 5.7) terdapat kata “menghalangi” yang kelebihan “a” menjadi “mengahalangi“.
Apakah ini hal yang sepele? Seharusnya tidak! Karena SE ini mengatasnamakan lembaga negara setingkat kementerian yang memproduksi kebijakan. Ditambah lagi, dengan konten yang sedemikian serius yaitu “dalam rangka Pecegahan Korupsi“, menjadi bertolak belakang keseriusannya akibat ketiadaan dasar aturan yang spesifik dan jelas sebagai latar belakang. Artinya gara-gara miskin rujukan regulasi dan kesalahan ketik maka SE ini menjadi kehilangan makna keseriusannya.
Miskin Makna dan Kaya Kontroversi
Ketika dibahas terkait konten, SE yang sedikitpun tidak merefer pada pasal-pasal regulasi ini juga menggunakan narasi dan contoh yang generalistik kualitatif atau terlalu normatif tak jelas.
Contoh kalimat, “5.1). Pengadaan harus berdasarkan kebutuhan yang didukung dengan analisis kebutuhan. Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah (K/L/PD) dilarang melakukan pengadaan yang tidak dibutuhkan dan/atau tidak mendukung rencana strategis K/L/PD. Misalnya Pengadaan titipan (tidak dibutuhkan) dari semua pihak.”
Penjelasan dan penegasan yang seperti apa yang bisa didapatkan dari narasi dangkal seperti ini! Tidak kah lebih elok jika kalimatnya dibuat formil dan elegan seperti, “Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 Perpres 16/2018 sebagaimana diubah dengan Perpres 12/2021, pengadaan barang/jasa berdasarkan identifikasi kebutuhan. Untuk itu kepada seluruh K/L/PD diwajibkan menyusun analisis kebutuhan berdasarkan rencana strategis K/L/PD. Dalam hal kebutuhan tidak tertuang dalam rencana strategis maka proses pengadaan barang/jasa tidak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya“.
Jika dikuliti satu persatu diktum-diktum yang termaktub dalam SE LKPP 5/2024 tentu perlu berlembar-lembar halaman menuangkannya. Hanya klausula-klausula kontroversial yang memantik keresahan serta perdebatan yang akan dibahas disini. Substansi artikel ini tidak untuk menguliti atau menyalahkan, melainkan hanya sebagai wujud keprihatinan saja terkait mekanisme Quality Assurance (QA) dan Quality Control (QC) dalam menerbitkan sebuah SE yang akan membawa nama Kepala Lembaga setingkat Kementerian, yang menyusun dan memproduksi kebijakan.
- Klausula Kontroversial SE LKPP 5/2024:
5.1). Misalnya Pengadaan titipan (tidak dibutuhkan) dari semua pihak.
Kalimat sederhana ini tidak memenuhi unsur clarity dalam mengkomunikasikan pesan. Istilah “pengadaan titipan” baik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) maupun Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) bukanlah istilah formil atau resmi. Padahal dalam Permenpan RB Nomor 80 Tahun 2012, yang digantikan dengan Peraturan Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas, persyaratan penyusunan naskah dinas harus memenuhi unsur: s
- Kejelasan yaitu Naskah Dinas harus memperlihatkan kejelasan, aspek fisik, dan materi.
- Singkat dan Padat yaitu Naskah Dinas harus menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar (bahasa formal, efektif, singkat, padat, dan lengkap).
Dari sisi pemaknaan jika dibaca berdasarkan PUEBI maka kalimat, “Pengadaan titipan (tidak dibutuhkan) dari semua pihak”, juga tidak tepat. Tanda ( ) dalam PUEBI dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang keberadaannya di dalam teks dapat dimunculkan atau dihilangkan. Sehingga jika kata “tidak dibutuhkan” dihilangkan, maka dibaca menjadi “Pengadaan titipan dari semua pihak”, kalimat ini justru membuat makna klausa menjadi ambigu.
Ada banyak kalimat-kalimat non formil seperti ini ditemukan pada SE LKPP 5/2024 dan 8/2024. Diantaranya:
- “…maka pengadaan tidak perlu diadakan” jauh lebih resmi jika menggunakan kalimat “maka proses pengadaan harus dihentikan“.
- “Contoh: pengadaan laptop untuk administrasi perkantoran tidak memerlukan spesifikasi seperti laptop untuk melakukan desain grafis” jauh lebih jelas dan tegas jika menggunakan kalimat, “Contoh: menyusun spesifikasi laptop dengan spesifikasi desain grafis sementara kebutuhan hanya untuk administrasi perkantoran”.
- “Apabila kebutuhannya hanya dapat dipenuhi oleh 1 merek, maka seharusnya dilakukan penunjukan langsung kepada rantai pasok terpendek yang berada di pasar“, jauh lebih formil jika menggunakan kalimat Perpres 16/2018 pasal 19 ayat 2 dan pasal 38 ayat 5, semisal, “Dalam hal kebutuhan hanya dapat dipenuhi oleh 1 (satu) merek maka pemilihan penyedia dilaksanakan dengan metode penunjukan langsung pada 1 (satu) Pelaku Usaha yang mampu”.
Sungguh sangat disayangkan sebuah naskah dinas yang memiliki dampak luar biasa kepada pelaku pengadaan, tetapi dari sisi tata bahasa tidak formal, efektif, singkat, padat, dan lengkap.
5.3). Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan (PP), dan Kelompok Kerja Pemilihan (Pokja Pemilihan) melakukan kaji ulang atas Rencana Umum Pengadaan yang ditetapkan oleh Penggunan Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Apabila ditemukan rencana pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan, maka pengadaan tidak perlu diadakan.
Selain persoalan gaya bahasa non resmi/non formil yang digunakan. SE LKPP 5/2024 juga memunculkan norma baru yang sulit dimaklumi oleh pelaku pengadaan dan akan mudah disalahpahami oleh pemeriksa maupun penegak hukum. Contoh poin 5.3) di atas, Pejabat Pengadaan yang notabene menangani pekerjaan sederhana dan standar, dengan nilai sampai dengan Rp. 200.000.000,- mendapatkan beban kewenangan sangat besar, bisa menghentikan pengadaan pada proses persiapan dan membatalkan perencanaan pengadaan yang telah disusun oleh PA/KPA/PPK. Parahnya di klausula ini sama sekali tidak disebutkan rujukan pasal atau klausula regulasi mana yang mau dipertegas dan standar operasional prosedur mana yang diacu.
Konseptor dan kurator SE LKPP 5/2024 tidak bisa menganggap sepele persoalan ini. Apalagi dengan narasi keberanian dan dongeng integritas personal, yang belum bisa dan tidak perlu, dibuktikan kebenarannya. Kondisi psikologis ekosistem pengadaan barang/jasa, khususnya di pemerintahan daerah, harus juga menjadi pertimbangan jika memang memiliki jiwa penyusun kebijakan yang bijaksana.
5.12) Dilarang memberikan informasi lebih awal yang membuat salah satu penyedia yang membuat persiapan lebih baik dari pada penyedia lain, kecuali yang sudah diatur di RUP.
Formulasi kalimat diawali dengan “Dilarang” harus dipahami konseptor dan kurator SE, memiliki bobot hukum yang besar terutama pelaku pengadaan di daerah. Sehingga ketika ada kata “Dilarang” seluruh penjelasan harus betul-betul memperhatikan prinsip logis dan meyakinkan dalam penyusunan naskah dinas. Demikian juga dengan kalimat, “…kecuali yang sudah diatur di RUP” memaksa khalayak pembaca untuk menafsirkan definisi yang dimaksud dan membuka ruang tafsir yang sangat luas. Padahal menurut PERANRI 5/2021 pasal 53 huruf b. bentuk, susunan, pengetikan, isi, struktur dan kaidah bahasa (naskah dinas) menggunakan bahasa yang formal, logis, efektif, singkat, padat, dan lengkap sehingga mudah dipahami. s
- Klausula Kontroversial SE LKPP 8/2024:
Ditinjau dari sisi jumlah kata salah ketik SE LKPP 8/2024 jauh lebih baik, demikian juga dengan pelibatan regulasi terdapat kutipan berisi Keputusan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 122 Tahun 2022, meski hanya ini saja.
Sejak rilis pada tanggal 10 Desember 2024, SE 8/2024, lebih banyak mengundang kontroversi di jagad group diskusi pengadaan barang/jasa pemerintah. Jika pada SE LKPP 5/2024 hanya ada satu klausa 5.3) maka di SE LKPP 8/2024 lebih banyak lagi.
5.b.1). PPK, PP dan Pokja Pemilihan mengidentifikasi dan menyusun analisis risiko serta melaksanakan mitigasi risiko korupsi.
Klausula ini wajar saja menjadi faktor keberatan dari para PPK, PP dan Pokja karena sampai saat ini pedoman/petunjuk standar “analisis risiko” dan “mitigasi risiko korupsi” tidak ditemukan pada kanal http://jdih.lkpp.go.id. Ketiadaan pedoman/petunjuk standar ini dipastikan membuka ruang tafsir hukum yang sangat beragam, yang diujungnya memunculkan beban hukum bagi pelaku pengadaan barang/jasa pemerintah.
5.b.5) PA, KPA, PPK, Pokja Pemilihan dan/atau Peserta Pemilihan/Penyedia dilarang melakukan persekongkolan secara vertikal maupun horizontal untuk memenangkan Peserta Pemilihan/Penyedia tertentu. Contoh persengkongkolan untuk pengaturan harga penawaran.
Klausula di atas masih menunjukkan bahwa tingkat ketelitian kurasi SE yang rendah. Kealfaan menyebut Pejabat Pengadaan, sebagai salah satu aktor utama proses pemilihan, seolah lepas dari larangan persekongkolan.
5.b.9) Pokja Pemilihan mengunggah kertas kerja evaluasi pada aplikasi SPSE sehingga bisa diakses oleh peserta penawaran dan PPK bersamaan dengan penetapan dan pengumuman pemenang.
Klausula ini yang paling banyak mendapatkan keberatan dari kalangan pokja pemilihan. Kalau ditilik dari unsur keberatan yang paling utama adalah munculnya istilah “kertas kerja evaluasi” yang sama sekali tidak tersebut dalam aturan lebih tinggi. Prinsip naskah dinas berupa SE yang tujuannya menjelaskan norma aturan yang lebih tinggi justru memunculkan istilah baru yang tidak terdefinisi dalam regulasi diatasnya. Sudah bisa dipastikan ini akan membuka ruang kesalahpahaman baru dan berisiko hukum bagi pelaku pengadaan.
5.b.10) Pokja Pemilihan dalam melakukan evaluasi terhadap peralatan harus memperhatikan output yang dapat dihasilkan oleh peralatan yang ditawarkan oleh Peserta Pemilihan. Contohnya dalam dokumen pemilihan disyaratkan memiliki 6 (enam) truk pasir dengan kapasitas masing-masing sebesar 10 (sepuluh) ton, dapat disetarakan dengan memiliki 3 (tiga) truk pasir yang kapasitasnya masing-masing 20 (dua puluh) ton.
Dari sisi contoh saja menimbulkan perdebatan. Bagaimana jika penampang jalan tidak memungkinkan untuk dilalui truk kapasitas di atas 10 (sepuluh) ton? Apakah SE harus diberi penjelasan lagi?
Simplikasi penjelasan memang mampu mencapai kaidah efektif, singkat dan padat, namun menjadi tidak formal, logis dan lengkap, sehingga tidak mudah dipahami. Sekali lagi membuka ruang tafsir yang meningkatkan risiko hukum pelaksana pengadaan terutama di pemerintah daerah. s
5.b.14) PA, KPA, PPK, dan/atau Pokja Pemilihan dilarang meminta dan/atau menerima segala bentuk pemberian/layanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan terkait proses PBJP yang melibatkan peserta, calon peserta, penyedia, dan/atau pihak lainnya.
Sama dengan klausula 5.b.5) menunjukkan bahwa tingkat ketelitian kurasi SE yang rendah dengan tidak disebutkannya Pejabat Pengadaan.
Miskin Manfaat, Kaya Mudharat
Ditelaah lebih lanjut dalam SE LKPP 5/2024 dan SE LKPP 8/2024 setidaknya terdapat 12 (dua belas) kalimat larangan terdiri dari 5 (lima) kalimat “tidak boleh” dan 7 (tujuh) kalimat “dilarang“. Yang kesemuanya tidak dijelaskan berasal dari referensi pasal dan/atau peraturan yang lebih tinggi. Dari 8 SE Kepala LKPP yang terbit di tahun 2024 hanya kedua SE ini yang terdapat kata, “dilarang” dan hanya 1 SE yang juga menggunakan kata, “tidak boleh“.
Mafhumnya, mengingat SE bukan merupakan bagian dari hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana disebutkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7, maka ketika menyebut larangan disebutkan rujukan pasal terkait larangan.
Ditemukan beberapa gangguan minor, terkait penggunaan akronim tanpa penjelasan. Seperti akronim RUP, BPK dan SPSE. Konseptor dan kurator mungkin menganggap pembaca sudah mengetahui seluruh istilah tersebut. Jika diperbandingkan dengan SE LKPP lain ini juga merupakan “keunikan” yang hanya ada pada SE LKPP 5/2024 dan SE LKPP 8/2024.
Dari sekian panjang pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa dari sisi kemanfaatan SE LKPP 5/2024 dan SE LKPP 8/2024, terdegradasi pada upaya memenuhi kewajiban agar nampak ada kepedulian terhadap tingginya peringkat korupsi pada pengadaan barang/jasa. Disusun dalam waktu cepat sehingga terkesan ugal-ugalan dari sisi tata bahasa.
Cilakanya kedua SE ini mengandung bobot risiko hukum yang sedemikian tinggi dan berat. Semakin berat bagi kondisi ekosistem pengadaan barang/jasa di daerah yang belum ideal. Belum ideal dari sisi literasi, pemahaman dan infrastruktur pencegahan masalah hukum. Maka hadirnya SE ini bisa jadi menambah mudharat dibanding manfaat.
Garry Fischer Silitonga menulis di kanal https://www.djkn.kemenkeu.go.id/, pada bagian terakhir artikel berjudul, “Asas lex superior derogate legi inferiori dan Kedudukan Surat Edaran dalam Perundang-undangan” menuliskan sebagai berikut:
“Landasan filosofis untuk segera menghapus dan membatalkan berbagai Surat Edaran yang menyimpang, adalah kecepatan dan ketepatan serta kemampuan Pimpinan Lembaga penerbit Surat Edaran dalam mengembangkan pertimbangan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945.” s
Semoga style penyusunan naskah dinas seperti ini, apalagi yang menyangkut hajat hidup banyak pihak, tidak dilanjutkan. Karena selain menimbulkan kontroversi dan keributan yang tidak perlu juga akan berdampak negatif terhadap marwah lembaga pemerintahan.
Banjarbaru, 17 Desember 2024
Daftar Referensi
Peraturan Presiden Indonesia. 2018. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Presiden Indonesia. 2021. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Indonesia. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 80 Tahun 2012 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah.
Peraturan Menteri Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
Peraturan Kepala Lembaga Indonesia. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pedoman Perencanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Kepala Lembaga Indonesia. Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Melalui Penyedia.
Peraturan Kepala Lembaga Indonesia. Peraturan Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2021 Tentang Pedoman Umum Tata Naskah Dinas.
Surat Edaran Lembaga Indonesia. Surat Edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 5 Tahun 2024 Tentang Pencegahan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pada Tahap Perencanaan Dan Persiapan Pengadaan.
Surat Edaran Lembaga Indonesia. Surat Edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 7 Tahun 2024 Tentang Pelaksanaan E-Purchasing Katalog Elektronik Laptop Produk Dalam Negeri Hasil Konsolidasi Pengadaan Laptop Produk Dalam Negeri Secara Nasional Untuk Tahun Anggaran 2024 Dan Tahun Anggaran 2025
Surat Edaran Lembaga Indonesia. Surat Edaran Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 8 Tahun 2024 Tentang Tentang Pencegahan Korupsi Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Pada Tahap Pemilihan Penyedia Dan Pelaksanaan Kontrak.
Achmad Subkhan, SHI., MSI., Kedudukan Surat Edaran Dalam Peraturan Perundang-Undangan. BDK Semarang. Diakses 17 Desember 2024 dari https://bdksemarang.kemenag.go.id/berita/kedudukan-surat-edaran-dalam-peraturan-perundang-undangan
Garry Fischer Silitonga, Asas lex superior derogate legi inferiori dan Kedudukan Surat Edaran dalam Perundang-undangan. Diakses 17 Desember 2024 dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-kisaran/baca-artikel/15099/Asas-lex-superior-derogate-legi-inferiori-dan-Kedudukan-Surat-Edaran-dalam-Perundang-undangan.html