• 0812-8694-8877 | 0811-192-577
  • admin@p3i.or.id
  • Jakarta, Indonesia
Kabar Pengadaan
Menentukan Acuan Denda Suatu Bangunan

Menentukan Acuan Denda Suatu Bangunan

Oleh : Sri Wiharnanto


Diskusi yang menarik tentang pengenaan denda suatu kontrak, muncul pertanyaan yang sederhana yaitu : denda keterlambatan itu dihitung dari nilai keseluruhan kontrak, atau dari sisa harga bagian kontrak yang belum diselesaikan?. Dan selalu saja perbedaan pendapat dan pemahaman masing-masing individu akan berbeda tergantung dari latar belakang pemikiran yang berbeda. Dan hal ini merupakan pengayaan akan pengetahuan yang harus kita syukuri.

Kalau kita perhatikan ketentuan pada Standart Dokumen Pelelangan perihal denda menyatakan, besarnya denda yang dikenakan kepada penyedia atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan untuk setiap hari keterlambatan adalah:

  1. 1/1000 (satu perseribu) dari sisa harga bagian kontrak yang belum dikerjakan, apabila bagian pekerjaan yang sudah dilaksanakan dapat berfungsi untuk setiap item pekerjaan; atau
  2. 1/1000 (satu perseribu) dari harga kontrak, apabila bagian pekerjaan yang sudah dilaksanakan belum berfungsi.

sesuai yang ditetapkan dalam Syarat-Syarat Khusus Kontrak;

Dari ketentuan pada SDP ini muncul pemahaman-pemahaman tentang definisi fungsional suatu pekerjaan konstruksi khususnya gedung untuk menentukan acuan denda dari harga kontrak atau dari sisa harga bagian kontrak. Diantaranya ada yang berpendapat bahwa gedung akan berfungsi jika bangunan struktur, arsitektur dan mekanikal elektrikal dalam gedung sudah terpasang semua dan sudah sukses commissioningnya maka gedung tersebut baru dinyatakan berfungsi, kalau struktur bangunannya saja yang selesai, sedangkan mekanikal elektrikal tidak terpasang maka tidak dapat dikatakan berfungsi. Dengan begitu denda diperhitungkan dari harga kontrak bukan dari bagian kontrak.

Pendapat yang lain menyatakan bahwa untuk kontrak lumpsum diukur dari milestone sesuai perhitungan progres fisik yang disepakati, misalnya pekerjaan struktur lantai dasar, struktur lantai satu, arsitektur lantai dasar berupa pasangan bata termasuk pengacian, pengecatan, plafond, pemasangan pintu jendela, pemasangan penutup lantai dll. Artinya dinyatakan berfungsi apabila selesai sesuai milestone tersebut, yang sifatnya independen. Sedangkan untuk jenis kontrak harga satuan, opname pekerjaan yang terpasang dihitung sebagai fungsional. Sehingga bagian pekerjaan yang belum terpasang sebagai dasar pengenaan denda.

Beberapa pendapat juga menyatakan bahwa bagian pekerjaan khususnya pada satu massa bangunan, seperti struktur, arsitektur, mekanikal, elektrikal bila selesai dilaksanakan, dapat dinyatakan berfungsi. Sehingga denda dihitung dari bagian pekerjaan tersebut yang belum dilaksanakan.

Ada lagi yang berpendapat bahwa acuan pengenaan denda dari serah terima sebagian pekerjaan, artinya denda dihitung dari bagian-bagian pekerjaan yang belum/tidak dapat diserahterimakan karena belum selesai, dan hal ini tercantum dalam kontrak. Bila klausul serah terima bagian kontrak tidak tercantum dalam kontrak maka denda dihitung dari harga kontrak.

Mari kita bahas satu persatu bagaimana sebaiknya menentukan acuan denda. Diskusi terkait pengenaan denda tentu tidak terlepas dari kontrak, cara pemilihan jenis kontrak dan rancangan klausula-klausula didalamnya.

Kontrak merupakan suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, dimana menimbulkan sebuah kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu secara sebagian (Black’s Law Dictionary), sedangkan menurut Perpres 54 tahun 2010, Kontrak Pengadaan Barang/Jasa yang selanjutnya disebut KONTRAK adalah perjanjian tertulis antara PPK dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola.

Seperti kita pahami bersama bahwa syarat sahnya suatu perjanjian/kontrak menurut KUHPerdata pasal 1320 yaitu, syarat subyektifnya adalah adanya kesepakatan para pihak, dan kecakapan untuk membuat perjanjian, kedua syarat ini apabila tidak dapat terpenuhi maka perjanjian hanya dapat dibatalkan di pengadilan. Syarat berikutnya adalah syarat obyektif, yaitu mengenai suatu hal (objek) tertentu dan adanya sebab yang halal (Geoorloofde Oorzaak) dalam berkontrak. Bila syarat obyektif ini tidak terpenuhi, maka perjanjian batal demi hukum, tanpa harus dibatalkan di pengadilan.

Sesuai KUHPerdata 1338 ketentuan penyusunan Kontrak adalah sebagai berikut :

  1. Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai UU bagi mereka yang membuatnya, dimana setiap orang bebas membuat  perjanjian, dengan siapapun, menentukan isi perjanjian dan persyaratannya, dan menentukan bentuk perjanjiannya.
  1. Kesepakatan tidak dapat ditarik kembali tanpa, persetujuan para pihak
  2. Perjanjian harus dibuat dengan itikad baik, suatu perjanjian harus adil, patut, tidak boleh melanggar kesusilaan, tidak boleh merugikan negara, tidak boleh memaksa, tidak boleh menipu.
  3. Hakim diberi kekuasaan mengawasi suatu perjanjian, dan hakim berkuasa menyimpang dari perjanjian sesuai dengan hurufnya, manakala perjanjian tersebut bertentangan dengan itikad baik.

Dengan demikian para pihak dalam berkontrak dalam hal ini, PPK dan penyedia, mempunyai hak untuk  bebas dan mampu membagi resiko yang dihadapi dalam melaksanakan kewajiban masing-masing.

Dalam Perpres 54, beserta perubahannya, ketentuan pemilihan kontrak disebutkan di beberapa pasal yaitu pada pasal 11, disebutkan bahwa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) memiliki tugas pokok dan kewenangan menetapkan rencana pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa didalam kewenangan tersebut diantaranya adalah menetapkan   “rancangan Kontrak”. Sedangkan di pasal 50, disebutkan juga ayat (1) PPK menetapkan jenis Kontrak Pengadaan Barang/Jasa dalam rancangan kontrak.

Dari ketentuan Perpres tersebut dapat dipahami bahwa kewenangan pemilihan jenis kontrak merupakan hak prerogatif PPK yang dituangkan dalam suatu Rancangan Kontrak.

Ketentuan pemilihan jenis kontrak apakah itu lumpsum kontrak, harga satuan ataupun gabungan lumpsum dan harga satuan atau yang lainnya, merupakan suatu pilihan atau kecocokan dari tipe/jenis pekerjaan dimaksud yang dilakukan oleh PPK. Dalam permen PU no 45 tahun 2007, disebutkan kecuali ditentukan lain, hubungan kerja antara Pejabat Pembuat Komitmen dengan pihak penyedia jasa konstruksi seperti: manajemen konstruksi/pengawas konstruksi, perencana konstruksi, dan pelaksana konstruksi, masing-masing dilakukan secara kontraktual dalam bentuk Kontrak Lumpsum (Lumpsum Fixed Price Contract). Artinya bahwa pekerjaan konstruksi pada hal-hal tertentu cocok menggunakan jenis kontrak lumpsum. Namun tetap mempertimbangkan jenis lain, sesuai keperluannya.

Disini perlu digaris bawahi bahwa tidak terdapat ketentuan yang mewajibkan suatu pekerjaan itu wajib menggunakan jenis kontrak tertentu, oleh karena itu pemilihan jenis kontrak merupakan pertimbangan profesional PPK dalam rencana mengendalikan pekerjaan sesuai goal yang akan dicapainya.

Suatu perjanjian yang sah, sesuai KUHPer 1338, para pihak yang berkontrak memiliki kebebasan menyepakati klausula-klausula di dalam kontrak termasuk didalamnya penentuan klausula denda. Pada perpres 54 tahun 2010 Pasal 120, menyatakan Penyedia Barang/Jasa yang terlambat menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam kontrak karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan denda keterlambatan sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai  Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan. Dengan penjelasan pada pasal 120 tersebut, yang isinya menjelaskan bagaimana kisi-kisi menentukan “bagian-bagian kontrak” yaitu :

  1. Bagian kontrak adalah bagian pekerjaan yang tercantum di dalam syarat-syarat kontrak yang terdapat dalam rancangan kontrak dan dokumen kontrak.
  2. Penyelesaian masing-masing pekerjaan yang tercantum pada bagian kontrak tersebut tidak tergantung satu sama lain;
  3. Bagian kontrak memiliki fungsi yang berbeda, dimana fungsi masing-masing bagian kontrak tersebut tidak terkait satu sama lain dalam pencapaian kinerja pekerjaan.

Misalnya saja suatu kontrak terdiri dari 3 bangunan yang berbeda, atau kontrak yang terdiri dari tiga jenis pekerjaan yaitu bangunan, pagar dan sarana jalan masuknya, maka dapat dengan mudah menentukan bagian-bagian kontraknya yaitu terdiri dari 3 bagian kontrak, sehingga klausul denda pada rancangan kontrak apabila terlambat, dapat ditentukan pengenaan dendanya dari sisa harga bagian kontrak yang belum diselesaikan tersebut.

Masalah muncul apabila kontrak pekerjaan adalah satu massa bangunan atau bangunan tunggal, bagaimana sebaiknya membagi bagian-bagian kontraknya?. Untuk kontrak pekerjaan satu masa bangunan yang finish, terdiri dari struktur bangunan, arsitektur, mekanikal, dan elektrikal, apabila diteliti berdasarkan penjelasan pasal 120 Perpres 54, maka sangat memungkinkan milestone tersebut sebagai bagian-bagian kontrak, walau tidak sepenuhnya memenuhi syarat sebagai bagian-bagian kontrak, karena penyelesaian masing-masing pekerjaan pada bagian kontrak arsitektur misalnya, masih tergantung dari penyelesaian mekanikal/elektrikal. Contohnya : penyelesaian pemasangan plafond pada bagian kontrak arsitektur, masih tergantung dari pemasangan elektrikal pada rangka plafondnya.

Atau menentukan bagian-bagian kontrak dari pekerjaan yang lebih detail lagi, misalnya galian tanah, struktur bangunan (karena struktur merupakan satu system maka menjadi satu bagian kontrak utuh walau terdiri dari beberapa lantai), pekerjaan pasangan batu belah, pasangan batu bata, pasang lantai, pasang pintu dan jendela, pasang partisi dst yang mempunyai fungsi berbeda, dan tidak tergantung dari pekerjaan satu sama lainnya.

Untuk bangunan yang pembangunannya bertahap beberapa tahun, misalnya pada tahap pembangunan struktur, maka akan susah ditentukan bagian-bagian kontraknya, sehingga sebaiknya hanya menjadi satu bagian kontrak, tentu saja dendanya juga dihitung dari harga kontrak, karena tidak ada bagian kontraknya.

Perlu diingat bahwa penentuan bagian-bagian kontrak dan pengenaan dendanya sudah ditentukan saat PPK membuat rancangan kontrak dan disempurnakan saat kesepakatan penandatanganan kontrak, bukan saat terjadinya keterlambatan. Sehingga apabila benar-benar terjadi keterlambatan dan klausul denda ini diterapkan menjadi konsekuensi logis, apapun yang dipilih baik penentuan bagian kontraknya maupun acuan denda dari bagian kontrak. Dan kesepakatan ini dilindungi oleh KUHPerdata seperti dijelaskan diatas dan harus tercantum pada syarat-syarat khusus kontrak, apabila “bagian kontrak” tidak tercantum dalam kontrak tentu saja denda dikenakan terhadap harga kontrak.

Sesuai pasal 120 Perpres 54 th 2010 beserta perubahannya, tersirat makna bahwa pengenaan denda itu terhadap pekerjaan yang tidak selesai sesuai kewajiban penyedia seperti yang seharusnya. Yang besarannya dihitung dari harga kontrak untuk kontrak/surat perjanjian yang tidak tercantum bagian-bagian kontraknya atau dihitung dari bagian kontrak apabila tercantum bagian-bagian kontraknya, untuk setiap hari waktu yang di perlukan dalam penyelesaian pekerjaan.

Ketentuan denda pada SBD seperti diatas, berbeda makna dengan yang terdapat pada pasal 120 Perpres 54 th 2010 beserta perubahannya, pada SBD penentuan besaran denda dipilih berdasarkan acuan “fungsional pekerjaan yang telah diselesaikan”, hal ini menjadikan saat terjadinya keterlambatan, kontrak belum mempunyai kepastian dan kejelasan tentang acuan penerapan denda karena masih perlu justifikasi fungsional atas pekerjaan yang telah diselesaikan padahal pemahaman fungsionalnya masih multi tafsir, semestinya acuan penerapan denda kontrak berdasarkan pada hal yang pasti dan jelas, seperti ketentuan di perpres dari “kontrak atau bagian kontrak (bila tercantum dalam surat perjanjian) yang belum selesai”. Sehingga selama ini diskusi terjebak pada pemahaman fungsional dari setiap pekerjaan konstruksi yang memang absurd.

Untuk itu dalam merancang kontrak, PPK dapat menggunakan hak kebebasan menentukan isi perjanjian dengan menyempurnakan redaksional sesuai perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya, misalnya dengan menentukan pada SSUK, sebagai berikut : Besarnya denda yang dikenakan kepada penyedia atas keterlambatan penyelesaian pekerjaan untuk setiap hari keterlambatan adalah:

  1. 1/1000 (satu perseribu) dari sisa harga bagian kontrak yang belum dikerjakan, apabila bagian kontrak ditetapkan dalam Syarat-Syarat Khusus Kontrak; atau
  2. 1/1000 (satu perseribu) dari harga kontrak, apabila pekerjaan tidak dapat ditentukan/tidak ditetapkan bagian kontraknya dalam Syarat-Syarat Khusus Kontrak;

Dengan demikian saat penandatangan kontrak, klausul denda acuannya sudah  pasti dan jelas, namun  harus dicantumkan apa saja bagian-bagian kontrak dalam Syarat-syarat khusus kontrak (sesuai ketentuan pada penjelasan pasal 120), apabila memang pekerjaan yang dikontrakkan dapat ditentukan bagian kontraknya, sehingga pengenaan denda dapat dipilih berdasarkan sisa harga bagian kontrak, sesuai pasal 120 Perpres 54 tahun 2010 beserta perubahannya.

Demikian semoga bermanfaat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.