Pejabat Pembuat Komitmen tidak wajib Eselon, Eselon Tidak Harus menjadi Pejabat Pembuat Komitmen
Sumber: http://atasyudakandita.wordpress.com (P3I Founder)
Seiring dengan keluarnya regulasi pengadaan barang dan jasa di lingkungan birokrasi maka akan sangat akrab dengan istilah pejabat pembuat komitmen. Istilah lamanya, pimpinan proyek atau pimpinan bagian proyek.
Pejabat Pembuat Komitmen (selanjutnya disebut PPK) merupakan tokoh penting dalam pengadaan barang dan jasa, karena PPK merupakan orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. (Perpres 54 Tahun 2010 pasal 1 ayat 7). Sehingga PPK bertanggung jawab secara administrasi, teknis dan finansial terhadap pengadaan barang dan jasa.
Di era lama, orang menganggap jabatan PPK merupakan jabatan basah, karena ‘memakmurkan’ orang yang menjabatnya. Sehingga banyak pejabat struktural kadang berlomba-lomba untuk menjadi PPK. Tetapi di era reformasi ini, jabatan PPK menjadi momok bagi birokrat.
Alasannya tidak lain karena PPK sangat rentan dengan masalah hukum, terkait dengan pelaksanaan kontrak. Akan sangat lazim kita jumpai kasus tindak pidana korupsi terkait PBJ, pastilah menyeret PPK dan penyedia barang/jasa. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari dokumen kontrak yang dibuat oleh PPK dan penyedia.
Dalam Perpres 54 Tahun 2010 pasal 12 ayat 2, syarat menjadi PPK tersurat dengan tegas :
- memiliki integritas;
- memiliki disiplin tinggi;
- memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
- mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
- menandatangani Pakta Integritas;
- tidak menjabat sebagai pengelola keuangan; dan
- memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
Persyaratan manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah:
- berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
- memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
- memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.
- Dalam uraian diatas cukup jelas mengenai syarat menjadi PPK, sehingga sesuai dengan judul artikel ini, kita dapat menarik kesimpulan sementara, bahwa apabila seorang pejabat struktural atau bahkan eselon menjadi PPK, harus memenuhi syarat di atas.
PPK di daerah
Sejak keluarnya Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, banyak gejolak muncul di daerah. Salah satu bagian yang paling ‘hot’ di Permendagri 21 ini adalah pasal 10A menyebutkan :
“Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.”
Pengguna Anggaran yang dalam hal ini Kepala SKPD menjadi kelabakan, tetapi bagi cerdas menangkap uraian di Pasal 11, maka akan terlihat jelas bahwa salah satu kewenangan yang paling ditakuti Pengguna Anggaran, menjadi PPK, dapat dilimpahkan.
Kesimpulan
Menjadi catatan penting bagi setiap penyelenggara negara baik di pusat dan di daerah, bahwa kegiatan PBJ, yang berlandaskan pada kontrak/perjanjian, merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak pemahaman dan atau kemampuan. PBJ dimulai dari perencanaan, pelaksanaan pengadaan, dan kontrak, serta serah terima barang/jasa/pekerjaan. Seorang PPK merupakan jenderal yang mengatur irama proses PBJ, sehingga kalaulah diserahkan kepada orang yang belum memahami di setiap aspek dan tahapannya, maka dikhawatirkan output kegiatan PBJ tidak akan tercapai.
Hanya orang yang memenuhi syarat sebagai PPK sebagaimana amanat Perpres yang akan mampu mengawal PBJ sehingga bebas terjerat dari berbagai masalah, terutama masalah hukum. Sehingga PPK tidak harus dijabat oleh orang yang mempunyai eselon, dan sebaliknya orang yang punya eselon jangan memantaskan diri menjadi PPK, kecuali telah memenuhi syarat menjadi PPK.
Seiring dengan keluarnya regulasi pengadaan barang dan jasa di lingkungan birokrasi maka akan sangat akrab dengan istilah pejabat pembuat komitmen. Istilah lamanya, pimpinan proyek atau pimpinan bagian proyek.
Pejabat Pembuat Komitmen (selanjutnya disebut PPK) merupakan tokoh penting dalam pengadaan barang dan jasa, karena PPK merupakan orang yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa. (Perpres 54 Tahun 2010 pasal 1 ayat 7). Sehingga PPK bertanggung jawab secara administrasi, teknis dan finansial terhadap pengadaan barang dan jasa.
Di era lama, orang menganggap jabatan PPK merupakan jabatan basah, karena ‘memakmurkan’ orang yang menjabatnya. Sehingga banyak pejabat struktural kadang berlomba-lomba untuk menjadi PPK. Tetapi di era reformasi ini, jabatan PPK menjadi momok bagi birokrat.
Alasannya tidak lain karena PPK sangat rentan dengan masalah hukum, terkait dengan pelaksanaan kontrak. Akan sangat lazim kita jumpai kasus tindak pidana korupsi terkait PBJ, pastilah menyeret PPK dan penyedia barang/jasa. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari dokumen kontrak yang dibuat oleh PPK dan penyedia.
Dalam Perpres 54 Tahun 2010 pasal 12 ayat 2, syarat menjadi PPK tersurat dengan tegas :
- memiliki integritas;
- memiliki disiplin tinggi;
- memiliki tanggung jawab dan kualifikasi teknis serta manajerial untuk melaksanakan tugas;
- mampu mengambil keputusan, bertindak tegas dan memiliki keteladanan dalam sikap perilaku serta tidak pernah terlibat KKN;
- menandatangani Pakta Integritas;
- tidak menjabat sebagai pengelola keuangan; dan
- memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa.
Persyaratan manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah:
- berpendidikan paling kurang Sarjana Strata Satu (S1) dengan bidang keahlian yang sedapat mungkin sesuai dengan tuntutan pekerjaan;
- memiliki pengalaman paling kurang 2 (dua) tahun terlibat secara aktif dalam kegiatan yang berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa; dan
- memiliki kemampuan kerja secara berkelompok dalam melaksanakan setiap tugas/pekerjaannya.
- Dalam uraian diatas cukup jelas mengenai syarat menjadi PPK, sehingga sesuai dengan judul artikel ini, kita dapat menarik kesimpulan sementara, bahwa apabila seorang pejabat struktural atau bahkan eselon menjadi PPK, harus memenuhi syarat di atas.
PPK di daerah
Sejak keluarnya Permendagri 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, banyak gejolak muncul di daerah. Salah satu bagian yang paling ‘hot’ di Permendagri 21 ini adalah pasal 10A menyebutkan :
“Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.”
Pengguna Anggaran yang dalam hal ini Kepala SKPD menjadi kelabakan, tetapi bagi cerdas menangkap uraian di Pasal 11, maka akan terlihat jelas bahwa salah satu kewenangan yang paling ditakuti Pengguna Anggaran, menjadi PPK, dapat dilimpahkan.
Kesimpulan
Menjadi catatan penting bagi setiap penyelenggara negara baik di pusat dan di daerah, bahwa kegiatan PBJ, yang berlandaskan pada kontrak/perjanjian, merupakan kegiatan yang membutuhkan banyak pemahaman dan atau kemampuan. PBJ dimulai dari perencanaan, pelaksanaan pengadaan, dan kontrak, serta serah terima barang/jasa/pekerjaan. Seorang PPK merupakan jenderal yang mengatur irama proses PBJ, sehingga kalaulah diserahkan kepada orang yang belum memahami di setiap aspek dan tahapannya, maka dikhawatirkan output kegiatan PBJ tidak akan tercapai.
Hanya orang yang memenuhi syarat sebagai PPK sebagaimana amanat Perpres yang akan mampu mengawal PBJ sehingga bebas terjerat dari berbagai masalah, terutama masalah hukum. Sehingga PPK tidak harus dijabat oleh orang yang mempunyai eselon, dan sebaliknya orang yang punya eselon jangan memantaskan diri menjadi PPK, kecuali telah memenuhi syarat menjadi PPK.