Isu-isu Strategis Pembentukan Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah
Oleh: Samsul Ramli
Artikel menggugat format kelembagaan Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa (ULP) di daerah rupanya menjadi viral. Dalam beberapa hari respon, baik yang positif maupun yang negatif berdatangan. Sebagian besar penggiat pengadaan barang/jasa cenderung mendukung kelembagaan ULP yang permanen dan berdiri sendiri. Terkhusus lagi dalam bentuk Badan Daerah sebagaimana tertuang dalam artikel sebelumnya.
Respon negatif justru muncul dengan pertanyaan, “kenapa baru sekarang gugatan terhadap Permendagri 99/2014 ini muncul?” Dari pertanyaan ini dapat ditangkap nada dukungan atas ide pembentukan Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah, hanya saja keberatannya kenapa baru sekarang hal ini diungkapkan.
Tidak hanya dari perseorangan. Beberapa organisasi pengadaan barang/jasa turut menyampaikan dukungan dan persetujuan atas upaya reformasi kelembagaan pengadaan barang/jasa. Secara resmi maupun non resmi diantaranya Ikatan Fungsional Pengadaan Indonesia (IFPI), Pusat Pengkajian Pengadaan Indonesia (P3I), Forum Komunikasi Pengadaan Kalimantan Selatan, Forum Komunikasi Pengadaan Jawa Barat dan beberapa lembaga lainnya.
Disisi lain rupanya masih diperlukan dukungan yang sangat besar agar pemerintah daerah berani untuk mendobrak kokohnya tembok loyalitas terhadap produk aturan Kementerian Dalam Negeri. Kajian aturan yang disampaikan pada artikel “Menggugat Permendagri 99/2014, ULP Bukan di Bawah Sekretariat Daerah” masih menyisakan pertanyaan.
Kenapa Harus “Badan”?
Pertanyaan kenapa harus diperkuat dalam bentuk “Badan”? Apakah formulasi selain Badan semisal Biro, Bagian, Sub Bagian atau UPT kemudian melemahkan fungsi pengadaan barang/jasa? Adalah “PR” yang harus dijawab dengan argumentasi yang benar.
Dalam rilis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang didapatkan dari laman http://hukumonline.com 28 Juni 2016 lalu, terdapat simpulan kajian yang patut untuk dicermati. Berdasarkan hasil kajian KPK, terdapat empat titik celah korupsi dalam proses pengadaan barang dan jasa, yaitu dari aspek regulasi, perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.
Titik tekan artikel ini adalah pada penjelasan KPK terkait aspek pelaksanaan. Dijelaskan bahwa organisasi pengadaan barang dan jasa yang tidak berintegritas, intervensi eksternal, kolusi, kelemahan sistem sumber daya manusia (SDM), individu yang koruptif dan tidak independen, serta intervensi pada proses pemilihan penyedia barang dan jasa.
Kajian ini cukup jelas dan tegas bahwa independensi organisasi pengadaan barang/jasa adalah titik lemah yang selama ini diabaikan. Ekses negatif yang kemudian mengikuti adalah lemahnya daya tangkal pelaksana pengadaan terhadap intervensi. Lemahnya kelembagaan juga berakibat pada tidak mandirinya pelaksana pengadaan (Pokja, PPK, PPHP, Pejabat Pengadaan, tim LPSE dan lainnya). Ketika organisasi pengadaan berada pada lembaga yang termarginalkan, pembinaan kompetensi SDM baik keahlian, teknis maupun moral sangat terabaikan. Kemampuan menyusun,menetapkan dan melaksanakan program dibatasi oleh ketidakmandirian anggaran.
Inilah salah satu alasan mendasar kenapa kelembagaan pengadaan haruslah permanen dan berdiri sendiri. Jika melihat formulasi UU 23/2014 dan PP 18/2014 maka bentuk Badan adalah yang paling ideal dan sesuai dengan regulasi.
PP 18/2016 Tidak Membatasi Jumlah OPD
Rupanya masih banyak daerah yang berpemahaman bahwa UU 23/2014 dan PP 18/2016 tentang Perangkat Daerah membatasi jumlah organisasi perangkat daerah berdasarkan tipelogi seperti halnya UU 32/2004 dan PP 41/2007. PP 18/2016 sudah tidak lagi menganut pemahaman seperti ini.
Tentang ini diklarifikasi langsung oleh materi paparan “Kebijakan Penataan Urusan Pemerintahan Dan Kelembagaan Perangkat Daerah Berdasarkan Amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah” yang disampaikan oleh DR. Suhajar Diantoro M.SI, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Bidang Pemerintahan.
Dari tabel di atas jelas mindset PP 41/2007, jumlah perangkat daerah tergantung pada tipelogi, sudah tidak relevan lagi dengan PP 18/2016. PP 18/2016 hanya membatasi struktur perangkat daerah berdasarkan tipelogi. Misal jumlah bidang dan seksi pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) antara Tipologi A dan B akan berbeda meski dari sisi jumlah perangkat daerah sama pada dua daerah.
Jika ternyata berdasarkan kriteria tipelogi, sebagaimana diatur PP 18/2016 Pasal 6, suatu urusan atau fungsi penunjang urusan tidak memenuhi syarat untuk dibentuk dinas/badan daerah maka dapat digabung dengan dinas/badan lain. Meski tetap dapat berdampak pada jumlah perangkat daerah namun hanya untuk skor yang paling minimal.
Jangan Mencari Urusan Pengadaan Barang/Jasa
Masih banyak yang mempertanyakan tentang keberadaan urusan “pengadaan barang/jasa pemerintah” pada UU 23/2014 dan PP 18/2016. Hal ini karena mereka beranggapan jika pengadaan barang/jasa tidak tertuang secara jelas sebagai satu urusan maka tidak dapat dibentuk sebagai satu perangkat daerah. Mari kita jawab melalui tabel perbandingan lagi.
Dari tabel diatas kunci utama memahami PP 18/2016 adalah perubahan sasaran tipelogi. PP 41/2007 tipelogi diarahkan pada tipelogi daerah. Sebagaimana dituangkan dalam PP 41/2007 pasal 21 dan 22 tentang besaran Organisasi Perangkat Daerah. Sedangkan PP 18/2016 Pasal 6 tipelogi diarahkan pada tipelogi perangkat daerah.
PP 41/2007 membagi jumlah perangkat daerah berdasarkan fungsi urusan dan fungsi pendukung saja. PP 18/2016 membagi jumlah perangkat daerah berdasarkan Fungsi Urusan ke dalam Dinas, Fungsi Pendukung ke dalam Sekretariat Daerah dan Fungsi Penunjang ke dalam Badan.
Dengan demikian ketika urusan pengadaan barang/jasa tidak termaktub dalam UU 23/2014 maupun PP 18/2016, bukan berarti diharamkan terbentuknya perangkat daerah pelaksana pengadaan barang/jasa. Ketiadaan urusan tidak lebih karena memang pengadaan barang/jasa tidak tepat disebut sebagai urusan pemerintahan melainkan hanya unsur penunjang urusan pemerintahan.
Pengadaan Barang/Jasa mempunyai karakteristik yang sama persis seperti FungsiPerencanaan yang diwadahi oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), FungsiKeuangan diwadahi oleh Badan Pengelolaan Keuangan Daerah, Fungsikepegawaian serta pendidikan dan pelatihan diwadahi oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD), FungsiPenelitian dan Pengembangan yang diwadahi oleh Badan Penelitian Pengembangan Daerah (BALITBANGDA).
Bahkan jika berdasarkan kriteria fungsi kepegawaian dan pendidikan dan pelatihan dapat diwadahi oleh dua Badan Daerah maka dapat dipisah menjadi Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah (BADIKLATDA) dan Badan Kepegawaian Daerah (BKD).
Kesamaan karakteristik yang dimaksud adalah bahwa fungsi ini melekat pada seluruh perangkat daerah, bukan hanya ada pada satu atau beberapa perangkat daerah. Fungsi keuangan, perencanaan, kepegawaian dan diklat melekat pada seluruh organisasi perangkat daerah, baik itu dinas, badan maupun sekretariat daerah. Demikian pula dengan fungsi pengadaan barang/jasa.
Ini menunjukkan bahwa peluang membentuk Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah (BPBJD) secara mandiri sangat besar. Sebagaimana tertuang pada PP 18/2016 pasal 24 dan 46 ayat 5 huruf e, bahwa Unsur penunjang Urusan Pemerintahan meliputi salah satunya fungsi penunjang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pengadaan barang/jasa bukanlah urusan pemerintahan sehingga tidak perlu dicari dan ditegaskan sebagai urusan pemerintahan. Pengadaan barang/jasa adalah fungsi penunjang urusan pemerintahan yang dapat diwadahi oleh sebuah Badan Daerah. Meski demikian tentu jika pada PP 18/2016 tertuang secara jelas fungsi penunjang pengadaan barang/jasa akan lebih memperkuat acuan regulasi.
Rumah Jabfung Pengelola PBJP bukan Sekretariat Daerah
Peran dan fungsi Pejabat Fungsional Pengelola Pengadaan Barang/Jasa (Jabfung PBJP) menjadi salah satu titik kunci diskusi pentingnya dibentuk Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah. PP 18/2016 secara eksplisit tidak menempatkan kelompok jabatan fungsional pada unit Sekretariat Daerah. Kelompok jabatan fungsional hanya ada pada fungsi urusan (Dinas) dan fungsi penunjang urusan pemerintahan (Badan).
Dengan demikian kebijakan pembentukan (Jabfung PBJP) yang digagas LKPP-RI dan disetujui oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara (KEMENPAN) secara tegas mengamanatkan pembentukan Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah.
Jika ada yang menanyakan bagaimana sikap LKPP-RI terkait tuntutan dibentuknya Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah. Beruntung sekali sejak terbit artikel “Menggugat Permendagri 99/2014, ULP Bukan di Bawah Sekretariat Daerah”, berhasil diterima informasi penting untuk menjawabnya.
Bukti dukungan LKPP-RI, terkonfirmasi lewat Surat Kepala LKPP-RI tertanggal 5 Agustus 2016 yang ditujukan kepada Kementerian Dalam Negeri. Meski surat ini internal namun sifatnya bukan rahasia sehingga layak kiranya untuk dibagi secara pointer. Perihal surat intinya adalah Usulan Perubahan Permendagri 99/2014 tentang Pedoman Pembentukan ULP di Daerah. Dalam surat ini secara tegas disebutkan usulan dibentuknya Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah.
Ini merupakan arah yang jelas dan kuat bahwa kelembagaan pengadaan barang/jasa yang permanen dan berdiri sendiri, sesuai amanat Perpres 54/2010 sebagaimana diubah dengan Perpres 4/2015 pasal 1 angka 8, adalah berbentuk Badan Pengadaan Barang/Jasa Daerah.
Semoga artikel ini memperkuat dan menambah keyakinan Kepala Daerah dan Tim Penyusun Perda SOTK eksekutif maupun Pimpinan DPRD, untuk menempatkan lembaga pengadaan barang/jasa pada tempat yang ideal. Ini jika benar para pihak concern terhadap upaya pencegahan tindak pidana korupsi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah.
Sumber: http://samsulramli.com/isu-isu-strategis-pembentukan-badan-pengadaan-barangjasa-daerah/